Jadi Guru Les Privat Anak
di Sela-sela Waktu Kuliah
Berawal dari tetangga saya yang
diminta untuk menjadi guru les privat membaca dan menulis oleh seorang wali
murid di TK (Taman Kanak-kanak) yang beliau ajar, namun tetangga saya ini
menolak dikarenakan jadwal beliau yang sudah cukup padat. Beliau kemudian
menawari saya. Waktu itu beliau menghubungi saya melalui DM (Direct Message)
Instragram, padalah kami berdua tinggal di lingkunngan yang sama, memiliki
kontak Whatsapp masing-masing, dan rumah kami hanya berjarak satu rumah.
Awalnya, ketika
beliau menawari saya, saya merasa ragu dan agak gugup. Saya ini orang yang
tidak begitu yakin dengan kemampuan diri saya sendiri, maka ketika ada tawaran
untuk mengajar orang lain, saya merasa gugup dan sedikit panik. Yang saya
khawatirkan adalah ‘Apakah saya bisa mengajar anak itu?’, ‘Apakah
anak itu akan mengerti dengan cara saya mengajar?’, ‘Apakah saya bisa
berinteraksi dengan baik dengan anak itu?’, mengingat latar belakang saya
yang belum pernah mengajar sama sekali, apalagi yang akan saya ajar ini adalah
anak kecil yang sedang bersekolah TK.
Melalui
percakapan DM, saya menanyakan banyak hal, mulai dari bagaimana nanti cara
mengajarnya, apa saja yang akan diajarkan, dan alat apa saja yang saya butuhkan
ketika nanti mengajar anak tersebut. Saya juga berterus terang bahwa saya
merasa sangat gugup dan tidak yakin untuk menerima tawaran ini, namun, tetangga
saya ini meyakinkan saya bahwa tidak semenakutkan itu mengajar anak kecil, yang
paling diperlukan ialah kesabaran dan ketelatenan dalam mengajar. Apalagi, yang
perlu diajarkan hanya membaca, menulis, dan berhitung.
Setelah beberapa
menit pertimbangan, akhirnya saya menyetujui dan menerima tawaran tersebut. Tetangga
saya kemudian memberikan kontak Whatsapp saya kepada Ibu dari anak yang akan
saya ajari. Kami, saya dan sebutlah, Mama Arfa, mulai berdiskusi sedikit
melalui percakapan Whatsapp. Diskusi seputar berapa kali pertemuan dalam
seminggu, berapa jam mengajar, dan sampai berapa nominal untuk setiap
pertemuannya. Kami sepakat untuk mengadakan 2x pertemuan tiap seminggu
(menyesuaikan jadwal kuliah saya (Sabtu-Minggu waktu bonding si anak dengan
Ayahnya)), 1 jam lama mengajar, dan untuk nominal, saya tidak mematok nominal
yang pasti, saya menyerahkan itu kepada Mama Arfa untuk memberikan sesuai
keinginan beliau.
Tiba hari
pertemuan pertama, ketika saya datang ke alamat yang telah diberikan, saya
disambut dengan baik oleh mereka (Keluarga anak yang akan saya ajari). Saya
bertemu dengan anak yang akan saya ajari ini untuk pertama kali. Laki-laki,
namanya Arfa, cukup sopan untuk kategori anak seusianya. Saya diarahkan ke
ruangan tempat biasa Arfa belajar. Pada awal pertemuan, si anak tampak sedikit
malu-malu, namun meskipun begitu, si anak dapat diajak berbicara dan mengobrol
dengan baik. Pertemuan-pertemuan awal seperti pertemuan kedua dan ketiga
mungkin terasa masih agak canggung, namun si anak bukanlah anak yang begitu
hyperactive yang perlu energi lebih dalam menanganinya.
Saya mulai
mengajari dari yang paling awal yakni mengenalkan huruf abjad untuk mengetahui
apakah si anak telah mengenal dan hafal huruf-huruf tersebut. Saya mengajari
bagaimana cara menuliskan huruf abjad satu persatu, berusaha agar si anak hafal
dengan bentuk dari tiap-tiap huruf. Setiap memulai pelajaran, saya akan meminta
si anak untuk menuliskan abjad dari A-Z, tentu dengan bimbingan saya. Beberapa
kali mungkin si anak keliru dalam menebak huruf, ataupun salah menuliskan huruf
ketika saya minta untuk menulis satu huruf, misalkan ‘S’. Namun, si anak cukup
cepat tanggap dan mudah menerima apa yang saya ajarkan.
Setelah selesai
dengan pengenalan abjad, kami, saya dan Arfa, lanjut ke membaca dua huruf (konsonan
didampingi vokal). Si anak mampu membaca namun menggunakan cara ejaan. Ketika
si anak lupa nama huruf yang saya tuliskan, maka saya akan membukakan catatan
abjad si anak, meminta si anak untuk mencari huruf mana yang sama bentuknya
dengan huruf yang saya tuliskan.
Setelah pertemuan
kedua, kami makin akrab. Si anak ternyata merupakan anak yang mudah bergaul,
dan saya memiliki pembawaan yang senang berbicara dengan anak kecil. Kami
lanjut ke pelajaran tingkat selanjutnya, membaca dua suku kata, misalnya
‘Bu-ku’. Ternyata, membaca dua suku kata empat huruf lebih mudah daripada
membaca tiga huruf dengan dua konsonan di awal dan akhir seperti ‘Ban’ dll.
Pelajaran terus
berlanjut, meningkat ke level selanjutnya seiring dengan penguasaan
pembelajaran sebelum-sebelumnya. Namun dengan lebih akrabnya kami, saya jadi
lebih sering mendengarkan si anak bercerita tentang hal-hal kesukaannya. Biasanya
si anak bercerita tentang temannya, mobil kesukaannya (Lamborgini), dan yang
paling sering, si anak suka menceritakan Frost Diamond, tontonan youtube-nya.
Lucu
mendengarkan anak kecil bercerita, saya jadi tahu bahwa si anak punya banyak
kesukaan. Dan lagi, ternyata si anak suka menggambar dan mewarnai. Dari
kesukaannya terhadap menggambar dan mewarnai, saya selalu menyelipkan sesi menggambar
di akhir pembelajaran setiap harinya. Dan uniknya, si anak tidak pernah bosan. Saya
juga membawakan buku gambar untuk menunjang kreatifitas si anak. Lucunya lagi,
si anak suka menggunakan pensil mekanik milik saya. Dalam satu lembar buku
gambar, dia akan menggaris tengah untuk memberikan 2 ruang gambar. Satu untuk
dia, dan satunya lagi untuk saya.
Begitulah
sedikit cerita dari saya, semoga dapat menginspirasi dan memberikan motivasi
bahwa tidak perlu takut untuk memulai sesuatu, selama kita yakin dengan diri
sendiri.
Rukma Amala S./TBI
6B/23030220077


No comments:
Post a Comment