Liburan semester yang aku kira bakal santai… kok ternyata malah bikin deg-degan ya?
Ini semua bermula dari aku yang rebahan sambil nonton watchlist yang sudah kubiarkan termarinasi manis di Letterboxd selama berabad-abad. Salah satu pencapaianku saat itu adalah akhirnya bisa binge-watching series pengacara lelaki baik hati favorit seluruh umat, Saul Goodman.
Sambil ngunyah keripik dan menikmati ketidakpastian para karakter di TV dan hidupku di rezim ini, tiba-tiba ada pesan masuk:
"Ayo ke kos B*."
Aku sempat bengong. Pikiranku blank selama dua detik, sampai akhirnya…
"ASTAGA, MAKE UP!"
Iya, aku baru inget kalau sebelumnya udah janji buat make up-in temen-temenku yang mau tampil di pentas tugas akhir semester mereka. Kegiatan yang tadinya cuma “bantuin temen” itu lambat laun jadi side job yang makin serius. Liburan kali ini jadi makin ‘seru’ gara-gara kesempatan ini.
Dengan tas andalanku berwarna krem yang udah gak berbentuk itu, aku bawa alat tempur ke medan perang. Di kepalaku saat itu, aku panik karena bingung mau bawa apa. Akhirnya semua alat dari kuas sampai eyeshadow aku bawa sebagai bekal perjanjian damai untuk menghentikan gencatan insekuritas itu.
Rasa nervousku kali ini melebihi rasa yang ku rasakan ketika menyatakan ketertarikanku kepada cowok yang berakhir naas dan dighosting itu. Perut rasanya geli-geli gitu. Anehnya, bukan kupu-kupu yang bersarang, tapi beban mental karena takut semuanya gak berjalan sesuai rencana. Aku menghela napas. "Ah, semuanya pasti bisa dilewati dengan mudah kan? Aku kan ditemani kawan karibku," gumanku dalam hati.
“Kak Al!!!” Terdengar suara keras memanggil namaku yang berasal dari depan rumah. Kawan karibku udah datang menjemputku. Kalian gak salah. Betul, aku yang berumur 22 tahun ini adalah si passenger princess itu atau lebih tepatnya temen beban, hehe. Lalu kita berangkat ke sana naik kuda besi bertenaga bensin oplosan Pertamina dengan kecepatan gak penuh-penuh amat karena pulutan adalah trek balap sepeda roda empat sampai cumi darat full racing.
Sesampainya di kos temanku, terdengar jeritan kulit dan pori-pori yang minta dirias. “Aku dan teman-temanku tolong didandanin kaya gini dong,” ucap temanku sambil memerlihatkan gambar dari Pinterest. Gambar itu gambar face paint yang aku sama temen karibku belum pernah buat sama sekali. Sebenernya kita sudah tau dari awal kalau gaya make up-nya bakal kaya gini, tapi kita iyain aja deh dengan bekal pengalaman make up eksperimental 10 lapis sebelum mandi.
Jadi dimulailah proses yang lebih dari sekadar beauty transformation. Wajah-wajah polos itu mulai bertransformasi menjadi karya seni yang bukan hanya membutuhkan ketelitian, tapi juga keberanian. Satu persatu wajah temanku secara perlahan terselimuti primer dan foundation seperti kanvas kosong yang siap dihiasi. Tapi yang bikin aku deg-degan adalah saat aku mulai menorehkan warna biru di wajah mereka. Berjuta perasaan bersaing dalam dadaku antara rasa khawatir dan kebingungan apakah face paint tetesan air hujan ini akan berhasil, atau malah jadi mimpi buruk tetesan air mata buaya di atas foundation yang cakey.
Setelah berjam-jam merias, aku melirik mereka, para temanku yang juga modelku, yang kini tampak seperti versi terbaik dari diri mereka sendiri. Aku bisa melihat perubahan nyata di wajah mereka dari yang awalnya penuh ragu menjadi penuh percaya diri.
Aku senang banget. Bukan karena make-up-nya, tapi karena aku bisa melihat betapa senangnya mereka dengan penampilannya. Mereka tampak begitu cantik. Wajah-wajah yang dulu mungkin terlihat biasa-biasa aja, sekarang bersinar siap untuk tampil di panggung. Di saat itulah, aku tahu ini lebih dari sekadar make up. Ini tentang memberi mereka rasa percaya diri yang semua perempuan bahkan manusia pantas untuk itu.
Setelah make up, kami langsung pergi ke Auditorium. Aku dan kawan karibku tidak sabar menunggu giliran mereka. Ketika mereka akhirnya tampil di panggung, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Mereka semua berjalan dengan percaya diri seolah dunia ini milik mereka. Aku tahu, itu bukan hanya karena penampilan fisik mereka, tetapi juga karena mereka merasa cantik. Jujur, aku merasa sangat bangga bisa menjadi bagian dari perjalanan itu dan bisa menyaksikan bagaimana teman-temanku bersinar dengan penuh percaya diri.
Akhirnya pentas itu selesai. Aku dan sahabat karibkupun pulang dengan rasa puas yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tapi di luar ekspektasi, ternyata ada bonus dari temanku yang ingin berterima kasih dengan cara yang tak terduga. Uang yang kami terima sebagai tanda terima kasih itu bikin kami bingung. "Mau diapain ya uangnya?" tanya teman karibku kepadaku. Setelah beberapa detik, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke toko es krim franchise badut joget yang sudah pasti kalian tahu mereknya. Kami beli es krim yang rasanya sebanding dengan kebahagiaan yang kami rasakan setelah hari itu.
Meskipun liburan semester ini memang tidak sesuai rencana, aku tidak pernah nyangka kalau kegiatan side job ini bisa bawa aku pada momen penuh kebahagiaan di mana aku tidak cuma bisa bikin orang lain merasa cantik, tapi juga bisa menikmati kebersamaan dan es krim bareng sahabat. Seru banget! Kalau hari itu diulang lagi, aku mau menjalaninya lagi.
.jpeg)
No comments:
Post a Comment