Pages

Friday, 25 April 2025

DARI RAK KE JALANAN: CERITA KERJA SAMBILAN DI ALFAMART DAN MAXIM


 Setiap orang punya cerita perjuangan sendiri selama kuliah. Ada yang fokus di akademik, aktif organisasi, atau sibuk ngejar prestasi. Tapi ada juga yang—seperti aku—harus nyambi kerja di tengah kesibukan kuliah. Bukan karena terpaksa, tapi karena aku ingin mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, dan membuktikan bahwa kuliah bukan halangan buat tetap produktif.

Perjalanan kerja sambilanku dimulai di tahun kedua kuliah. Waktu itu, aku kerja di Alfamart sebagai crew store. Awalnya cukup canggung karena ini pengalaman kerja pertamaku. Bangun pagi, masuk shift, bongkar barang, isi rak, bersihin lantai, sampai jaga kasir. Capek? Jelas. Tapi dari situ aku belajar banyak hal yang nggak pernah diajarin di kelas—tentang disiplin, pelayanan ke orang, dan menghargai kerja keras orang lain.

Yang paling susah waktu itu adalah mengatur waktu. Pernah suatu kali, habis shift malam jam 10, aku harus langsung ngerjain tugas kelompok yang deadlinenya tengah malam juga. Mata udah ngantuk, badan pegal, tapi ya harus dijalani. Anehnya, di tengah lelah itu, aku justru merasa bangga. Karena rasanya hidupku beneran “hidup”.



Tapi setelah beberapa semester, aku harus resign dari Alfamart karena jam kuliah mulai nggak bisa ditebak. Nah, dari situ aku coba nyari kerja sambilan yang lebih fleksibel. Akhirnya ketemu Maxim, ojek online yang jadwalnya bisa aku atur sendiri. Mulai narik di Salatiga, kadang juga ke Semarang kalau orderan di sini lagi sepi.

Kerja di Maxim beda banget dengan di Alfamart. Di sini aku beneran “di jalan”, ngelawan panas, hujan, dan kadang penumpang yang suka ngaret. Tapi justru dari situ aku ngerasa makin kuat. Ada kebebasan tapi juga tanggung jawab besar. Setiap hari targetku sederhana: dapet order, pulang bawa rezeki, dan tetap bisa kuliah dengan baik.

Pernah suatu hari, aku dapet penumpang yang tujuannya jauh banget, dari Salatiga ke daerah Ambarawa. Di tengah jalan hujan turun deras, tapi karena udah janji dan tanggung, ya tetap lanjut. Setelah nyampe, si penumpang cuma bilang, “Makasih Mas, udah bantu banget hari ini.” Kalimat itu sederhana, tapi rasanya hangat banget, seolah semua capek langsung hilang.

Kerja sambilan sambil kuliah memang nggak gampang. Tapi dari situlah aku belajar ngatur waktu, tahan banting, dan yang paling penting: nggak gampang nyerah. Kadang iri lihat teman-teman bisa leha-leha habis kelas, sementara aku harus langsung siap-siap kerja. Tapi aku percaya, setiap orang punya jalannya sendiri. Dan ini jalanku.

Buat kalian yang lagi galau mau ambil kerja sambilan atau nggak, coba tanya diri sendiri: “Apa aku siap keluar dari zona nyaman?” Kalau iya, maka kerja sambilan bisa jadi tempat belajar paling berharga. Nggak semua hal bisa dipelajari di ruang kelas, dan kerja sambilan justru sering jadi guru kehidupan yang paling jujur.


Sebagai penutup, aku mau kasih lihat satu foto waktu aku lagi nunggu orderan Maxim di Semarang. Di balik senyum di foto itu, ada lelah, ada keringat, tapi juga ada semangat dan harapan yang terus aku bawa setiap hari.

Terima kasih udah baca cerita ini. Semoga bisa jadi penyemangat buat kalian yang juga lagi berjuang dengan cara masing-masing. Ingat, semua proses ini bukan sia-sia. Kita sedang membangun versi terbaik dari diri kita sendiri.



Bismi Khairul Rizal/6B/23030220075

No comments:

Post a Comment